Seorang romo atau pastor, Rm. Markus Marlon, imam dari ordo MSC, menulis sebuah renungan bagus yang berjudul "JALAN".
Ajakan romo Markus untuk berjalan di dalam hidup mengingatkan saya
bahwa hidup memang adalah sebuah perjalanan..sebuah pengalaman..sebuah
peziarahan. Dan saya ingat perkataan Don Giussani, pendiri Gerakan
'Communion and Liberation': "Di dalam peziarahan, nantikanlah sebuah
perjalanan, sebuah langkah, agar
menempatkan diri kalian di dalam tingkah laku yang baik, supaya tidak
menantikan sesuatu yang bermukjizat" (...) "Oleh karena itu adalah hal
yang penting untuk melakukan perjalanan, langkah yang diajukan oleh
Gereja melalui Gerakan ini, agar keterbukaan hati kita, kesadaran diri
atas kebutuhan ini menjadi lebih stabil dan lebih nyata lagi."
Semoga Bunda Maria mengiringi langkah hidup kita selamanya. Amin.
VENI SANCTE SPIRITUS VENI PER MARIAM.
Berikut adalah tulisan Rm. Markus tersebut:
JALAN
(Kontempasi Peradaban)
Ketika saya hendak berkunjung kesalah satu keluarga di Manado – di
bilangan kota Teling, saya agak heran karena dulu nama jalan itu adalah
Jalan Anoa. Tetapi sekarang nama Jalan itu sudah tidak ada dan yang
masih ada adalah Jalan 14 Februari. Setelah saya bertanya kepada
penduduk setempat, ternyata nama Anoa itu telah di-pleset-kan
(“digelincirkan”) oleh penduduk lain, menjadi akronim: Anak Nakal Otak
Anjing. Padahal nama Anoa (hewan endemic Sulawesi) itu indah. Karena
nama Jalan itu menjadi “tidak baik” orang-orang yang tinggal di Jalan
Anoa tersebut sengaja menghilangkan nama yang indah itu, Anoa.
Tahun berikutnya (2112), saya mengadakan perjalanan ke Jawa Barat. Di
sepanjang jalan saya merasakan adanya kejanggalan, ketika melihat
nama-nama Jalan di sana. Di sana tidak ada nama Jalan yang menggunakan
nama Gajah Mada. Sekonyong-konyong terbersit dalam pikiran saya dengan
novel yang pernah saya baca yang berjudul Perang Bubat yang terjadi
tahun 1357 tulisan Langit Kresna Hariadi. Dalam novel tersebut,
dikisahkan tentang Dyah Pitaloka putri Raja Galuh Pajajaran. Dalam
Perang Bubat tersebut, Patih Gajah Mada (circa 1290 – 1364 ) amat
berperan besar. Mungkin karena itulah nama Gajah Mada sengaja dilupakan,
bahkan ingin dihapus dari ingatan negeri Parahiyangan. Wallahualam bi
shawab!!
Mengontemplasikan makna Jalan, kita diajak untuk
memasuki relung-relung kehidupan itu sendiri, dari Jalan yang biasa
(street atau road) hingga Jalan menuju kepada keabadian (eternity). Maka
tidak mengherankan jika muncul kata sirotol mustaqim (Jalan menuju
surga), yang menurut bahasa Injil adalah sempitlah jalan menuju kesurga
(Mat 7: 13 – 14).
Orang seperti saya yang terlahir di ndesa
kluthuk (desa yang sangat udik) tentu banyak pengalaman mengenai Jalan.
Saya masih teringat bagaimana di sepanjang jalan desa kami ada kendi
yang diletakkan di depan rumah oleh tuan rumah. Ternyata kendi-kendi
tersebut disediakan bagi orang-orang yang mengadakan perjalanan dari
desa ke desa (zaman dulu belum ada kendaraan dan listrik pun belum
masuk). Keramahtamahan dari tuan rumah pada zaman itu sungguh luar
biasa. Para “peziarah” itu dengan mudah bertanya kepada penduduk
setempat, arah mana yang harus ditempuh (Bdk. Peribahasa, “Malu bertanya
sesat di jalan”), apalagi banyak persimpangan. Pada waktu itu memang
belum ada petunjuk jalan, rambu-rambu maupun marka yang menjadi
fasilitas bagi para pengguna jalan seperti zaman sekarang ini.
Sebuah jalan bisa menjadi kenangan, seperti lagu yang berjudul,
“Sepanjang Jalan Kenangan” ciptaan Is Haryanto dan dipopulerkan oleh
Tetty Kadi (1969). Menjadi kenangan karena – barangkali – di jalan
tersebut untuk pertama kali berjumpa dengan kekasih hati. Jalan menuju
kota Wonosari – Gunung Kidul dulu ada Jalan yang namanya Irung Petruk
(hidung Petruk) yang bentuknya seperti hidung Pinokio (Novel ini ditulis
oleh Carlo Collodi yang lahir di Florence 1826 – 1890). Para muda-mudi
yang sedang jatuh cinta dan berduaan naik kendaraan bermotor akan
mengatakan bahwa mereka memasuki “tikungan mesra.” Pengalaman seperti
inilah yang menjadi kenangan. NH Dini dalam novelnya yang berjudul
Sebuah Lorong di Kotaku, menceritakan tentang sebuah lorong yang memberi
kenangan di masa kecil. Kita pun tentu memiliki kenangan tersendiri di
sepanjang Jalan hidup ini. Petrus – Paus Pertama memiliki pengalaman
tersendiri mengenai Jalan. Di Jalan Appia atau Via Appia, Petrus hendak
melarikan diri dari penyiksaan dan pembantian orang-orang Kristen di
kota Roma. Sementara hendak keluar dari kota Roma di Via Appia, ia
bertemu dengan seseorang dan berkata, “Quo vadis Domini?” Dan “Tuan” itu
pun berkata, “Aku hendak ke Roma untuk disalibkan yang kedua kali.”
Dari sanalah Petrus sadar bahwa “Tuan” itu adalah Yesus (Kisah
selengkapnya bisa dibaca dalam novel berjudul Quo Vadis tulisan Henryk
Sienkiewicks).
The Beatles – group music dari Liverpool
memandang Jalan sebagai jejak-jejak kehidupan. Syair yang berbunyi, “The
long and winding road” mengajak kita untuk mengontemplasikan akan
kehidupan yang panjang dan penuh liku. Dan kadang dalam menapaki Jalan
ini, kita mengalami banyak susah-derita. MalahanYesus bersabda, “Setiap
orang yang mau mengikuti Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul
salibnya setiap hari dan mengikuti Aku” (Bdk. Luk 9: 23). Tidak heran
jika tradisi kekatolikan menanamkan Jalan salib atau Via Dolorosa (Jalan
Penderitaan) sebagai sarana untuk menghayati kehidupan Yesus. Jalan
Salib menjadi permenungan umat manusia. Melalui Jalan Salib itu, kita
merenungkan akan penghakiman terhadap orang yang tidak berdosa (Yesus
diadili secara tidak adil), diolok-olok (orang-orang yang menertawakan
dan mencibir), jatuh dalam perjalanan (Yesus Jatuh tiga kali),
perjumpaan dengan orang-orang yang tulus (Simon dari Kirene dan
Veronica), ditolong oleh orang-orang yang prihatin (ibu-ibu Yerusalem
yang menangisi Yesus), dipukul dan disiksa (algojo-algojo Romawi)
akhirnya diancam dan dibunuh.
Jalan dalam bahasa Jawa
diartikan sebagai dalan. Orang yang hidupnya tidak lurus disebut sebagai
orang yang “ora ndalan” yang berarti hidupnya tidak tahu aturan. Jalan –
dengan demikian – dikandung maksud sebagai suatu arah, pedoman dan
tujuan. Oleh karena itu, tidak salahlah jika hakekat jalan pun memiliki
makna religious. Jalan menuju keabadian. Orang-orang Mesir meyakini
bahwa untuk menghadap Osiris perlu peta atau denah yang ditaruh di bawah
kepala orang yang yang sudah meninggal. Mereka beranggapan bahwa peta
itu merupakan petunjuk arah menuju Osiris (dewa bawah tanah dan hakim
orang mati). Bagi orang Yunani, orang yang meninggal itu dalam bibirnya
diselipi koin emas. Ini dipakai untuk “membayar” orang yang
menyeberangkan sungai dan bertemu dengan Dewa Hades (Dewa Kematian).
Orang-orang Katolik mengenal yang namanya viaticum yang adalah sakramen
bagi orang-orang yang dalam sakit berat dan sebagai bekal Jalan (via)
menghadap Bapa di surga atau viaticum dalam bahasa Teologi diartikan
sebagai “makanan bagi yang mengadakan perjalanan.” Komuni suci yang
diberikan kepada orang yang akan meninggal untuk menyiapkannya bagi
kehidupan yang akandatang.
Jalan juga sering diartikan sebagai
way of life – cara hidup. Maka tidak mengherankan jika Yesus menyebut
diri-Nya sebagai Jalan. Via vita, via verita – Jalan Kehidupan dan Jalan
Kebenaran (Bdk. Yoh 14: 6).
Sebenarnya saya hendak menutup
tulisan ini seperti yang ditulis oleh Thomas Aquinas (1225 – 1274). Ia
berbicara secara analog mengenai Allah dengan merumuskan: Via
Affirmationis (Jalan Peneguhan), Via Negationis (Jalan Penyangkalan) dan
Via Eminentiae (Jalan Mulia). Tetapi sementara berpikir-pikir untuk
menyusun kata-kata, sahabat saya mengajakku Jalan-Jalan. Dalam benakku
sempat terpikir bahwa Jalan-Jalan itu tidak memiliki tujuan, sekadar
mlaku-mlaku (bahasa Jawa) atau sirèng-sirèng atau klinthong-klinthong
atau sightseeing. Namun supaya tidak mengecewakan yang mengajak
Jalan-Jalan, saya mencoba untuk memaknai Jalan-Jalan itu sebagai suatu
Perjalanan (journey). Maka tidak mengherankan jika perjalanan hidup itu
pun harus ditulis dalam Buku Jurnal. Hidup adalah suatu Perjalanan dan
bukan hanya Jalan-Jalan, pun pula bukan Jalan di tempat. Einstein (1879 –
1955) pernah berkata, “Sepeda itu baru bisa Jalan kalau bergerak dan
tidak jalan di tempat. Dan jika tidak bergerak maka akan jatuh.” Kita
pun sudah layak dan sepantasnya dalam nglakoni (bahasa Jawa dari kata:
laku, mlaku yang berarti Jalan) hidup ini dengan bergerak, “Yok Jalan!”
Senin, 15 Juli 2013 Markus Marlon
No comments:
Post a Comment