Saturday, July 27, 2013

ORANG KUDUS YANG ADALAH DIRIKU SENDIRI

ORANG KUDUS YANG ADALAH DIRIKU SENDIRI
Lagu oleh Danielle Rose


Sahabat-sahabat GK yang terkasih, saya mendapat sebuah lirik lagu dan link lagu yang menurut saya indah sekali mengenai "Orang Kudus". Salah satu lagu yang dinyanyikan oleh Danielle Rose. Lagu ini menggambarkan bahwa walaupun para santo dan santa yang kita kenal merupakan panutan yang sangat baik dalam mengikuti ajaran Kristus, kita tidak perlu mati-matian meniru hidup mereka 100%, sebab hidup yang kudus dapat kita jalankan sesuai dengan panggilan kita masing-masing. Kekudusan memang adalah panggilan utama kita semua. Berikut ini saya kutip dan ingin bagikan juga lirik lagu tersebut yang sudah diterjrmahkan oleh salah seorang admin Page FB Gereja Katolik (admin Deo Duce). Saya ucapkan terima kasih pada admin yang sudah menerjemahkan dan mengizinkan untuk membagikannya. Lirik asli ada di bawahnya, diikuti dengan link videonya. Saya mengajak sahabat-sahabat sekalian meluangkan waktu mendengarkan lagu yang indah ini, siapa tahu menjadi kesukaan sahabat juga. Selamat menikmati.


ORANG KUDUS YANG ADALAH DIRIKU SENDIRI

Aku selalu berpikir, bahwa aku akan menjadi
seseorang yang heroik dan menginspirasi.
Aku selalu ingin memberi pengurbanan terbesar bagi-Mu
Seperti semua orang kudus sebelum diriku.
Aku mencoba membuktikan cintaku pada-Mu,
demi mendapatkan hadiah itu.
Kupikir aku akan menjadi martir seperti Cecilia
Aku berharap aku dapat menghilang seperti Santa Therese
Atau diberi mahkota duri ajaib seperti Rosa dari Lima
Agar aku dapat menyembuhkan yang sakit dan membangkitkan orang mati.

Namun saat Engkau tergantung di salib, memandang aku,
Engkau tidak wafat supaya aku menjadi orang lain.
Engkau wafat supaya aku bisa menjadi
orang kudus yang adalah diriku sendiri.

Aku ingin miskin dan bebas seperti Fransiskus
Memotong rambutku seperti Klara yang manis
Setia seperti Bunda Teresa dalam kegelapan
Tuhan, maukah Engkau membuat aku seperti dia?
Aku mencoba berlutut berjam-jam di sudut kapel
Bertahan seperti Paulus dalam malam-malam tanpa tidur
Tetap bangun dan merawat pelitaku
seperti sepuluh gadis bijak
Memerangi Iblis dengan gagah berani.

Saat Engkau tergantung di salib, memandang aku,
Engkau tidak wafat supaya aku menjadi orang lain.
Engkau wafat supaya aku bisa menjadi orang kudus yang adalah diriku sendiri.
Hanya diriku, Engkau wafat hanya bagi diriku.
Hanya diriku, hanya diriku, Engkau wafat hanya bagi diriku.

Engkau melihat aku sempurna dalam ketidaksempurnaanku
Berkat kesalahan, dosa dari kesombongan Adam
Inilah alasan Engkau menjadi manusia
Dan melahirkan Hawa baru dari Tubuh-Mu yang terluka.
Jika bukan karena dosa-dosaku, luka, atau kelemahanku
Engkau tidak akan pernah menikahiku melalui salib.
Mengapa aku harus takut terlihat telanjang dan hancur?
Itulah mengapa Engkau datang; karena aku begitu membutuhkan-Mu.

Saat Engkau tergantung di salib, memandang aku,
Engkau tidak wafat supaya aku menjadi orang lain.
Engkau wafat supaya aku bisa menjadi
orang kudus yang adalah diriku sendiri.


================================

THE SAINT THAT IS JUST ME

O I thought Iʼd be heroic and inspiring
I wanted to offer you the greatest sacrifice
Like all the saints whoʼd gone before me
I tried to prove my love for you, and so to gain the prize.
I thought Iʼd be a martyr like Cecilia.
I hoped Iʼd disappear like Saint Therese,
Or wear a hidden crown of thorns like Rose of Lima,
To heal the sick and raise the dead.

When you hung upon the cross looking at me,
You didnʼt die so I would try to be somebody else.
You died so I could be the saint that is just me.

I wanted to be poor and free like Francis,
To cut off my long hair like lovely Clare.
To be faithful like Mother Teresa in the darkness,
Lord, wonʼt you make me just like her?
I tried to kneel for hours in the chapel corner,
To persevere like Paul with all my sleepless nights,
To stay awake and trim my lamp with ten wise virgins,
To really give the devil a good fight.

When you hung upon the cross looking at me,
You didnʼt die so I would try to be somebody else.
You died so I could be the saint that is just me,
Just me, you died just for me.
Just me, just me, you died just for me.

You saw that I was perfectly imperfect.
O happy fault, the sin of Adamʼs pride.
Thatʼs the reason that you became man,
And bore the new Eve from your wounded side.
If it werenʼt for my sins or wounds or weakness,
Then you wouldnʼt have married me upon the cross.
Why do I fear being seen naked and broken?
Thatʼs why you came; ʻcause I need you that much.

When you hung upon the cross looking at me,
You didnʼt die so I would try to be somebody else.
You died so I could be the saint that is just me.

================================

-Deo Duce-


Link video lagu:
http://youtu.be/fh_fSNz6NvQ







Kita Butuh Orang Kudus

KITA BUTUH ORANG KUDUS

Sepenggal puisi oleh Beato Paus Yohanes Paulus II, seperti dikutip oleh Paus Fransiskus dalam acara World Youth Day 2013 yang saat ini sedang berlangsung di Rio de Janeiro, Brazil.

Kekudusan merupakan panggilan seluruh umat beriman, tidak peduli latar belakangnya, usia, jenis kelamin, tingkat ekonomi, pekerjaan, serta apakah ia menikah, selibat awam, atau selibat religius. Bukan tidak mungkin anak remaja dan kaum muda hidup kudus, sementara tetap melakukan hal-hal normal sesuai usia mereka. Memang besar tantangannya, terutama di zaman ini, namun bukan tidak mungkin.

Semoga puisi ini memberi semangat bagi kalian orang muda harapan Gereja, dan bagi para orangtua dari anak-anak remaja. 
[Terjemahan bebas oleh admin Deo Duce, admin Page Gereja Katolik.Puisi asli berjudul "We Need Saints"]

"KITA BUTUH ORANG KUDUS"
oleh: Beato Paus Yohanes Paulus II


Kita butuh orang kudus tanpa kerudung atau jubah.

Kita butuh orang kudus yang mengenakan celana jins dan sepatu kets.

Kita butuh orang kudus yang pergi menonton bioskop, mendengarkan musik, dan bergaul bersama teman-teman.

Kita butuh orang kudus yang menempatkan Allah pada tempat pertama, yang mau meninggalkan kekuatan mereka sendiri.

Kita butuh orang kudus yang punya waktu berdoa setiap hari, dan yang tahu bagaimana berkencan dalam kemurnian dan kekudusan, atau yang mengkonsekrasikan kemurnian mereka bagi Allah.

Kita butuh orang kudus modern, orang-orang suci abad ke-21 dengan spiritualitas yang merupakan bagian dari zaman kita.

Kita butuh orang kudus yang melayani kaum papa dan berkomitmen pada perubahan-perubahan sosial yang baik.

Kita butuh orang kudus yang hidup di dunia dan dikuduskan di dunia, orang kudus yang tidak takut untuk hidup di dunia.

Kita butuh orang kudus yang minum Coke dan makan hot dog, yang mengenakan jins, yang melek Internet, yang mendengarkan CD.

Kita butuh orang kudus yang sungguh-sungguh mencintai Ekaristi, yang sekaligus tidak malu untuk minum soda atau makan pizza pada akhir minggu bersama teman-temannya.

Kita butuh orang kudus yang menyukai film, teater, musik, tari-tarian, olahraga.

Kita butuh orang kudus yang pandai bergaul, terbuka, normal, bersahabat, ceria, dan merupakan kawan yang baik.

Kita butuh orang kudus yang hidup di dunia dan tahu menikmati hal-hal yang murni dan baik dari dunia, namun yang tidak berasal dari dunia ini.


Wednesday, July 17, 2013

JALAN

Seorang romo atau pastor, Rm. Markus Marlon, imam dari ordo MSC, menulis sebuah renungan bagus yang berjudul "JALAN".
Ajakan romo Markus untuk berjalan di dalam hidup mengingatkan saya bahwa hidup memang adalah sebuah perjalanan..sebuah pengalaman..sebuah peziarahan. Dan saya ingat perkataan Don Giussani, pendiri Gerakan 'Communion and Liberation': "Di dalam peziarahan, nantikanlah sebuah perjalanan, sebuah langkah, agar menempatkan diri kalian di dalam tingkah laku yang baik, supaya tidak menantikan sesuatu yang bermukjizat" (...) "Oleh karena itu adalah hal yang penting untuk melakukan perjalanan, langkah yang diajukan oleh Gereja melalui Gerakan ini, agar keterbukaan hati kita, kesadaran diri atas kebutuhan ini menjadi lebih stabil dan lebih nyata lagi."
Semoga Bunda Maria mengiringi langkah hidup kita selamanya. Amin.
VENI SANCTE SPIRITUS VENI PER MARIAM.

Berikut adalah tulisan Rm. Markus tersebut:

JALAN
(Kontempasi Peradaban)

Ketika saya hendak berkunjung kesalah satu keluarga di Manado – di bilangan kota Teling, saya agak heran karena dulu nama jalan itu adalah Jalan Anoa. Tetapi sekarang nama Jalan itu sudah tidak ada dan yang masih ada adalah Jalan 14 Februari. Setelah saya bertanya kepada penduduk setempat, ternyata nama Anoa itu telah di-pleset-kan (“digelincirkan”) oleh penduduk lain, menjadi akronim: Anak Nakal Otak Anjing. Padahal nama Anoa (hewan endemic Sulawesi) itu indah. Karena nama Jalan itu menjadi “tidak baik” orang-orang yang tinggal di Jalan Anoa tersebut sengaja menghilangkan nama yang indah itu, Anoa.

Tahun berikutnya (2112), saya mengadakan perjalanan ke Jawa Barat. Di sepanjang jalan saya merasakan adanya kejanggalan, ketika melihat nama-nama Jalan di sana. Di sana tidak ada nama Jalan yang menggunakan nama Gajah Mada. Sekonyong-konyong terbersit dalam pikiran saya dengan novel yang pernah saya baca yang berjudul Perang Bubat yang terjadi tahun 1357 tulisan Langit Kresna Hariadi. Dalam novel tersebut, dikisahkan tentang Dyah Pitaloka putri Raja Galuh Pajajaran. Dalam Perang Bubat tersebut, Patih Gajah Mada (circa 1290 – 1364 ) amat berperan besar. Mungkin karena itulah nama Gajah Mada sengaja dilupakan, bahkan ingin dihapus dari ingatan negeri Parahiyangan. Wallahualam bi shawab!!

Mengontemplasikan makna Jalan, kita diajak untuk memasuki relung-relung kehidupan itu sendiri, dari Jalan yang biasa (street atau road) hingga Jalan menuju kepada keabadian (eternity). Maka tidak mengherankan jika muncul kata sirotol mustaqim (Jalan menuju surga), yang menurut bahasa Injil adalah sempitlah jalan menuju kesurga (Mat 7: 13 – 14).

Orang seperti saya yang terlahir di ndesa kluthuk (desa yang sangat udik) tentu banyak pengalaman mengenai Jalan. Saya masih teringat bagaimana di sepanjang jalan desa kami ada kendi yang diletakkan di depan rumah oleh tuan rumah. Ternyata kendi-kendi tersebut disediakan bagi orang-orang yang mengadakan perjalanan dari desa ke desa (zaman dulu belum ada kendaraan dan listrik pun belum masuk). Keramahtamahan dari tuan rumah pada zaman itu sungguh luar biasa. Para “peziarah” itu dengan mudah bertanya kepada penduduk setempat, arah mana yang harus ditempuh (Bdk. Peribahasa, “Malu bertanya sesat di jalan”), apalagi banyak persimpangan. Pada waktu itu memang belum ada petunjuk jalan, rambu-rambu maupun marka yang menjadi fasilitas bagi para pengguna jalan seperti zaman sekarang ini.

Sebuah jalan bisa menjadi kenangan, seperti lagu yang berjudul, “Sepanjang Jalan Kenangan” ciptaan Is Haryanto dan dipopulerkan oleh Tetty Kadi (1969). Menjadi kenangan karena – barangkali – di jalan tersebut untuk pertama kali berjumpa dengan kekasih hati. Jalan menuju kota Wonosari – Gunung Kidul dulu ada Jalan yang namanya Irung Petruk (hidung Petruk) yang bentuknya seperti hidung Pinokio (Novel ini ditulis oleh Carlo Collodi yang lahir di Florence 1826 – 1890). Para muda-mudi yang sedang jatuh cinta dan berduaan naik kendaraan bermotor akan mengatakan bahwa mereka memasuki “tikungan mesra.” Pengalaman seperti inilah yang menjadi kenangan. NH Dini dalam novelnya yang berjudul Sebuah Lorong di Kotaku, menceritakan tentang sebuah lorong yang memberi kenangan di masa kecil. Kita pun tentu memiliki kenangan tersendiri di sepanjang Jalan hidup ini. Petrus – Paus Pertama memiliki pengalaman tersendiri mengenai Jalan. Di Jalan Appia atau Via Appia, Petrus hendak melarikan diri dari penyiksaan dan pembantian orang-orang Kristen di kota Roma. Sementara hendak keluar dari kota Roma di Via Appia, ia bertemu dengan seseorang dan berkata, “Quo vadis Domini?” Dan “Tuan” itu pun berkata, “Aku hendak ke Roma untuk disalibkan yang kedua kali.” Dari sanalah Petrus sadar bahwa “Tuan” itu adalah Yesus (Kisah selengkapnya bisa dibaca dalam novel berjudul Quo Vadis tulisan Henryk Sienkiewicks).

The Beatles – group music dari Liverpool memandang Jalan sebagai jejak-jejak kehidupan. Syair yang berbunyi, “The long and winding road” mengajak kita untuk mengontemplasikan akan kehidupan yang panjang dan penuh liku. Dan kadang dalam menapaki Jalan ini, kita mengalami banyak susah-derita. MalahanYesus bersabda, “Setiap orang yang mau mengikuti Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya setiap hari dan mengikuti Aku” (Bdk. Luk 9: 23). Tidak heran jika tradisi kekatolikan menanamkan Jalan salib atau Via Dolorosa (Jalan Penderitaan) sebagai sarana untuk menghayati kehidupan Yesus. Jalan Salib menjadi permenungan umat manusia. Melalui Jalan Salib itu, kita merenungkan akan penghakiman terhadap orang yang tidak berdosa (Yesus diadili secara tidak adil), diolok-olok (orang-orang yang menertawakan dan mencibir), jatuh dalam perjalanan (Yesus Jatuh tiga kali), perjumpaan dengan orang-orang yang tulus (Simon dari Kirene dan Veronica), ditolong oleh orang-orang yang prihatin (ibu-ibu Yerusalem yang menangisi Yesus), dipukul dan disiksa (algojo-algojo Romawi) akhirnya diancam dan dibunuh.

Jalan dalam bahasa Jawa diartikan sebagai dalan. Orang yang hidupnya tidak lurus disebut sebagai orang yang “ora ndalan” yang berarti hidupnya tidak tahu aturan. Jalan – dengan demikian – dikandung maksud sebagai suatu arah, pedoman dan tujuan. Oleh karena itu, tidak salahlah jika hakekat jalan pun memiliki makna religious. Jalan menuju keabadian. Orang-orang Mesir meyakini bahwa untuk menghadap Osiris perlu peta atau denah yang ditaruh di bawah kepala orang yang yang sudah meninggal. Mereka beranggapan bahwa peta itu merupakan petunjuk arah menuju Osiris (dewa bawah tanah dan hakim orang mati). Bagi orang Yunani, orang yang meninggal itu dalam bibirnya diselipi koin emas. Ini dipakai untuk “membayar” orang yang menyeberangkan sungai dan bertemu dengan Dewa Hades (Dewa Kematian). Orang-orang Katolik mengenal yang namanya viaticum yang adalah sakramen bagi orang-orang yang dalam sakit berat dan sebagai bekal Jalan (via) menghadap Bapa di surga atau viaticum dalam bahasa Teologi diartikan sebagai “makanan bagi yang mengadakan perjalanan.” Komuni suci yang diberikan kepada orang yang akan meninggal untuk menyiapkannya bagi kehidupan yang akandatang.

Jalan juga sering diartikan sebagai way of life – cara hidup. Maka tidak mengherankan jika Yesus menyebut diri-Nya sebagai Jalan. Via vita, via verita – Jalan Kehidupan dan Jalan Kebenaran (Bdk. Yoh 14: 6).

Sebenarnya saya hendak menutup tulisan ini seperti yang ditulis oleh Thomas Aquinas (1225 – 1274). Ia berbicara secara analog mengenai Allah dengan merumuskan: Via Affirmationis (Jalan Peneguhan), Via Negationis (Jalan Penyangkalan) dan Via Eminentiae (Jalan Mulia). Tetapi sementara berpikir-pikir untuk menyusun kata-kata, sahabat saya mengajakku Jalan-Jalan. Dalam benakku sempat terpikir bahwa Jalan-Jalan itu tidak memiliki tujuan, sekadar mlaku-mlaku (bahasa Jawa) atau sirèng-sirèng atau klinthong-klinthong atau sightseeing. Namun supaya tidak mengecewakan yang mengajak Jalan-Jalan, saya mencoba untuk memaknai Jalan-Jalan itu sebagai suatu Perjalanan (journey). Maka tidak mengherankan jika perjalanan hidup itu pun harus ditulis dalam Buku Jurnal. Hidup adalah suatu Perjalanan dan bukan hanya Jalan-Jalan, pun pula bukan Jalan di tempat. Einstein (1879 – 1955) pernah berkata, “Sepeda itu baru bisa Jalan kalau bergerak dan tidak jalan di tempat. Dan jika tidak bergerak maka akan jatuh.” Kita pun sudah layak dan sepantasnya dalam nglakoni (bahasa Jawa dari kata: laku, mlaku yang berarti Jalan) hidup ini dengan bergerak, “Yok Jalan!”

Senin, 15 Juli 2013 Markus Marlon

Intermezzo

+++

Kalo sudah besar mau nabung banyak duit buat ke Yerusalem, ke Vatikan buat ketemu Paus Fransiskus. Tiap bangun pagi berdoa Aku Percaya, Bapa Kami, siangnya Malaikat Tuhan kalo malam Salam Maria bahasanya campur2 Bahasa Latin. Biar keren. Ngomongin dogma doktrin Gereja di Katekismus sama seputar Liturgi musiknya lagu2 Gregorian. Engga pernah ninggalin rumah tanpa kalung Rosario di kocek. Makanan apa aja halal tapi kalo hari Jumat pantang makan daging kalo lewat depan Gereja pasti bikin tanda salib. Puasanya 40 hari 24 jam, makan kenyang sekali tapi engga boleh ketahuan lagi puasa atau berdoa. Setiap hari Minggu wajib misa Ekaristi, kalo pengen apa2 tinggal minta lewat Bunda Maria. Menikah cuma sekali sampai pasangannya mati engga boleh cerai apalagi poligami. Kalo dijahatin orang engga boleh membalas, setiap hari mikirin soal Dosa Berat - Dosa Ringan. Cita2nya pengen sebelum mati masih bisa dan boleh menerima Sakramen Maha Kudus.
+++

Menjadi Katolik itu menyenangkan tapi sulit buat dijalani [?!?]